Friday, October 24, 2008

PEMUDA DALAM ESTAFET PLURALISME KEPEMIMPINAN MASA


PEMUDA DALAM ESTAFET PLURALISME KEPEMIMPINAN MASA DEPAN
Oleh : Hozaini*
Secara universal setiap individu adala pemimpin, bagi yang dipimpinnya. Baik pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarganya dan masyarakat di lingkungannya. Ini stimulasi secara umum. Oleh karena manusia mempunyai jenjang tesendiri, ada yang disebut usia kanak-kanak remaja atau lebih kerennya dengan sebutan pemuda. Maka sering dengan setiap perkembangan individu semakin hari bertambah usia, semakin bertambah pula pengalaman dan pengetahuan dalam kematangan skill suatu individu. Disinilah awal tumbuhnya pemahaman yang secara pragmatis menjadi kontrol dalam stabilitas sosial. Dalam hal ini yang punya andil besar adalah pemuda.
Diwarisi atau tidak, pemuda harus punya peranan dan tanggung jawab. Jikalau tidak demikian, bersiaplah menjadi penonton pesatnya perkembangan dalam perubahan zaman modern. Akan diasingkan walaupun hidup di tanah daerah sendiri, bahkan mendiami bangsa sendiri. Apabila pemuda tak bisa memainkan peranan dan keuletannya sebagai pewaris tampuk kepemimpinan.
Andil pemuda dalam kepemimpinan laksana pedang bermata dua, tidak dilindungi dan diarahkan akan menjadi lawan tersendiri dalam suatu negeri. Tidak dipelihara dan dan diberdayakan, bangsa sendiri yang akan terancam. Realita yang demikian menjadi fakta yang melegenda di tanah Bangsa Indonesia ini. Dimana ketika kaum pemuda bersilang pendapat dengan kaum tua, dalam rangka untuk memproklamerkan kemerdekaan. Soekarno diculik oleh kaum pemuda demi memproklamerkan kemerdekaan. Andai kata tidak ada andil pemuda pada waktu itu, kapan Indonesia ini masih akan merdeka?. Disinilah terlihat rencana strategis (Renstra) pemuda dengan tekad “ Yang penting merdeka dulu”, kemudian pembangunan jalani bersama-sama. Itulah kado kenang-kenangan dari pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda dan politik mengadakan Kongres di Jakarta 1928, lalu lahirlah “Indonesia Muda”, yang mencetuskan Sumpah Pemuda yang menjadi slogan bangsa sampai saat ini.
Disisi lain masih membekas taring pemuda di benak kita, waktu melengserkan kepemimpinan pemerintahan rezim Orde Baru. Sama sekali tak bias terbendung kebersatuan pemuda, laksana ombak di lautan menampar pantai. Realita itu menjadi contoh yang tak terbantahkan. Bahwa pemuda punya hak vital untuk menjadi control dan mengevaluasi dijalankannya roda birokrasi. Sebab tak ada ceritanya pennguasa memimpin seumur hidup. Setiap sejarah punya tokoh, setiap angkatan punya pahlawan dan setiap zaman punya pemimpin. Sementara pemuda adalah pewaris tokoh sejarah, adalah generasi pahlawan dan sekaligus pewaris tahta kepemimpinan. Itulah makna dari kalimat yang pernah diteriakkan oleh pak Karno “ berilah aku sepuluh pemuda akan aku pindahkan gunung Bromo”.
Kenapa kok pemuda yang menjadi target pak Karno, buknnya orang-orang yang sebaya dengan beliau. Pak Karno sebenarnya menunjukkan makna dibalik pemuda adalah semangat kekuatan, adalah watak-watak pemimpin, adalah singa-singa masa depan bangsa yang sanggup mempertahankan dan melawan gesitnya peradaban budaya zaman modern.
Sementara sejarah pergerakan pemuda masih membekas menjadi warna tersendiri diruang bangsa ini. Ketika pemuda (Mahasiswa) Indonesia yang sedang study di Negeri Belanda, seperti Ahmad Subardjo, A. Maramis, Nazir Datuk Pamuntjak, Sukirman, dan Muhammada Hatta. Mereka semua membentuk komunitas sebagai perhimpunan “ Pemuda Indonesia”, lalu mereka memainkan peranan kepemudaan dibidang Pers Mahasiswa yang terbit pertamakali pada tahun 1920-an, bertajuk “IndonesiaMerdeka”. Sedangkan pergerakan pemuda di jawa sendiri dalam tahun 1914, juga memiliki surat kabar sendiri yang bernama “Jong Java” yang bermottokan “ Organ v.d Sturenden. Jong Java, Perserikatan Pemoeda Djawa, Madoera dan Bali dari sekolah pertengahan dan tinggi”. Pers inilah yang semula bergerak di bidang sosial kemudian masuk kejalur politik (Baca : Persma).
Pergerakan pemuda tadi dengan menggunakan media informasi cukup menjadi perlawanan bagi kekuasaan Hindu Belanda, yang pada waktu itu wilayah Indonesia berada di bawah kekuasaanya. Begitupula dalam pendudukan Jepang di Indonesia, pergerakan yang tampak untuk membebaskan bangsa dari tangan penjajah adalah gerakan pemuda. Persatuan pemuda pada waktu itu cukup membawa dampak yang cukup besar, baik dari organisasi pemuda Muhammadiyah, pemmuda Partai Serikat Islam Indonesia, pemuda Muslimin, pemuda Ansor, dan juga pemuda yang telah kembali dari Belanda, Cairo, Mesir, sampai di tanah air banyak yang ikut memegang tampuk pemerintahan, atau aktif di bidang dakwah dan pendidikan. Seandainya boleh kami mengatakan, bangsa ini merdeka di balik ghaibnya kekuatan persatuan pemuda.
Untuk lebih sempurnanya menganalisis andil pemuda dalam estafet pluralisme kepemimpinan, penting untuk ditelaah posisi dan fungsi pemuda itu sendiri sesuai dengan tempat dan zamannya, perlu dicermati pemuda sebagai individu Agen of Chang and Agen of Control . Posisi pemuda adalah kunci penentu berputarnya roda bangsa yang harus difungsikan, bahwa di tangan pemuda tergenggam arah bangsa, dalam kecerdasan watak pemuda tersimpan gagasan pencerahan masa depan bangsa, pergerakan penentu sebagai penentu tegak dan tidaknya peradaban bangsa yang tentunya mesti harus lahir dari mental pemuda yang suci. Tetapi ingat, posisi pemuda dalam masyarakat bangsa bagai memelihara singa, sesekali salah di tanamkan pendidikan, salah diarahkan bukan hanya akan menggilas habitatnya bahkan akan memakan tuannya.
Dalam realitas yang lain, kaum tua yang kurang membangkitkan semangat pemuda, mati satu akan tumbuh pemuda seribu. Tetapi kehilangan seorang pemuda yang sanggup berjuang demi kebijakan dan keadilan, bahkan sanggup menjadi manusia yang hitam putih demi kesejahteraan, bangsa akan sangat kehilanga. Hilang satu harus di bayar dengan bulir air mata seribu butir. Seperti halnya kehilangan tokoh pembela HAM seperti Munir, sampai sekarang masih belum tergantikan oleh sosok individu yang lain. Kasus yang demikian cukup gencar dibicarakan di kalangan pemuda.
Hozaini adalah Mahasiswa UIN Malang Fakultas Tarbiyah
Aktif di berbagai organisasi Kampus, diantaranya:
Jurnalis kampus, sebagai pengelola kolom sastra
Pengelola kajian diskusi forum lingkar study islam kampus Malang
Pendiri Lingkar Seni (UI, Unlimited Imagination)

KEHAMPAAN AMAL MA’RUF NAHI MUNGKAR MASYARAKAT MODERN


KEHAMPAAN AMAL MA’RUF NAHI MUNGKAR MASYARAKAT MODERN
OLeh : Hozaini

Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghmat kerja dan membikin idup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Jawaban yang sederhana adalah – karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar.

Pesan Albert Einstin yang di sampaikan kepda Mahasiswa Kalifornia

Dari aforisme seorang teoritis terbesar dalam bidang ilmu alam tadi, pantaslah cendikiawan zaman modern ini untuk merasa tersinggung. Sebab manusia sekarang jangan di tanya masalah benar dan salah, baik dan buruk meskipun dari kaidah ilmu pengetahuan, karena sekarang tak ada manusia yanng tak berpengetahuan. Tetapi juga jangan mencari pribadi yang konsekwen dalam amal ma’ruf nahi mungkar. Andai manusia modern mau jujur, terlalu munafik pada potensi fitrah sebagai khalifah dimuka bumi, dan juga pada khazanah ilmu pengetahuan untuk mengatakan telah menyempurnakan amal ma’ruf nahi mungkar.Shahabat Umar pernah berkata demikian, bagaimana mungkin saya dikatakan peduli pada penderitaan rakyat, jika saya tidak merasakan apa yang mereka rasakan. Oleh karena implementasi amal ma’ruf nahi mungkar harus menjadi tanggung jawab ulama’ dan pemimpin sebagai simbol pribadi yang berpengetahuan, berwibawa dan punya kekuasaan dalam membina stabilitas sosial kemasyarakatan. Jadi, ulama’ dan pemimpin adalah figur publik yang disegani dan di hormati, wajarlah untuk mencontohkan keteladanan amal ma’ruf dan mengajarkan aplikasi nahi mungkar dengan realita.Pertanyaan yang pantas di ajukan untuk ulama’ dan pemimpin terkait dengan gagasan solusinya Shahabat Umar dan Albert Einstin tadi. Bagaimanakah kepedulian ulama’ dan pemimpin pada masyarakatnya, dan bagaimanakah seorang Ulama’ dan Pemipin menggunakan ilmu pengetahuannya?. Tentu saja manusia secara keimanan tidak akan punya ketergantungan pada siapapun untuk mengerjkan amal ma’ruf, akan tetapi realita kehidupan dalam konteks sosial, manusia yang di pandang punya pengetahuan yang lebih tinggi dalam pandangan secara umum kemasyarakatan selalu di tempatkan sebagai pemimpin. Dari sinilah dapat di amati keseimbangan istiqoah dan tanggung jawab amanah untuk nahi mungkar.Maka fenomena umat sekarang, melalui tilik mata batin penulis mengasumsikan. Bahwa pondasi keimanan untuk teori keimanan semata, dan ilmu pengetahuan untuk wacana dan teori yang hampa dalam logika. Terjadilah kehampaan dalam pondasi keimanan untuk mengorentasikan ilmu pengetahuan dalam aplikatif amal ma’ruf nahi mungkar. Wajar kalau akibatnya militansi amal ma’ruf nahi mungkar lebih mungkin terjadi dalam bentuk kekerasan. Hal ini merupakan akibat dari sikap muslim sekarang ini kurang kreatif dan inovatif dalam membina kebersamaan dengan kasih sayang dalam kebersatuan. Yakni lebih mementingkan egoistik personal untuk kebahagiaan dan kesejahteraan intern semata dengan alasan kepentingan bersama, padahal sifat ini adalah eksotis yang hanya di mengerti oleh pelakunya sendiri.Sebenarnya zaman modern ini bukan kebutaan dan kebodohan yang di alami umat manusia dalam pertimbangan benar-salah. Tetapi ketidak seriusan menjadikan mental berakidah membangun amanah tanggung jawab, bahwa keamanan, kedamayan, kesejahteraan dan peradaban adalah tanggung jawab manusia bersama. Oleh kerena terlalu pintar manusia modern ini mempoles intern kepentingan dengan simbolik keimanan, keislaman. Maka kesholehan hanya menjadi tontonan bukan tuntutan untuk perubahan ke arah moral manusia yang beradab. Walaupun penulis di sini tak berani mengatakan akidah, agama, ilmu pengetahuan menjadi ujud yang komersil. Tetapi sebagai akibatnya tuntutan amal ma’ruf nahi mungkar hanya berfungsi dalam pemahaman teori pengetahuan yang hampa dalam esensinya, bahwa amal ma’ruf nahi mungkar sebagai kontrol peradaban.Kenapa agama yang Hanif ini, telah di bekali kitab suci dan sunnah nabi yang manjadi warisan bagi para ulama’ menjadi mata rantai taqlid, talfiq, dan ittiba’ perinsip pandangan hidup manusia hanya menjadi hukum teks dan wacana kecerdasan otak, bukan kecerdasan prilaku sebagai umat yang punya jati diri ajaran agama. Memang tidak bisa di ingkari persepsi tadi menjadi akar keimanan yang kemudian menjadi batang keislaman seseorang, yangn di harapkan berbuah kasih sayang dalam bingkai ihsan, yang bukan hanya menjadi drama wacana. Dari kenyataan ini, fungsi keimanan seakan masih hampa sebagai pondasi tanpa gedung-gedung keislaman yang kokoh untuk membangun keutuhan agar kehidupan ini menjadi ihsan satu-kesatuan. Tetapi sekali lagi kenapa yang terjadi dalam tubuh masyarakat modern ini justru perbedaan yang memicu perpecahan. Inilah salah satu hilangnya esensi media dakwah dalam hakekat mengajak kepada kebaikan dengan penuh lemah lembut dan kasih sayang untuk melindungi, mengayomi sebagai ujud amal ma’ruf nahi mungkar tersosialisasikan dalam aplikatif yang nyata.Dari problematika amar ma’ruf nahi mungkar, mungkin masyarakat modern ini kehilangan semangat dan kepercayaan, sehingga kekerasan, keberutalan, penidasan, bahkan manusia menjadi binatang bagi saudaranya sendiri, karena tidak serius terhadap nilai-nilai agama, ilmu pengetahuan untuk digunakan secara wajar. Hal ni sesuai dengan pendapatnya Shahabat Ali, “perkara yang hak tapi tidak terorganisir dengan rapi akan terkalakan dengan perkara yang batil (sepele) tapi terorganisir dengan baik dan rapi”. Sebenarnya makna persepsi inilah yang tidak di istiqomahi oleh umat modern ini sehingga kepemimpinan tidak bisa melahikan keamanan, kedamayan, dan kesejahteraan dalam memakmurkan bangsa ini. Semoga kita senantiasa di beri petunjuk dan kekukatan untuk menegakkan amal ma’ruf nahi mungkar untuk kemaslahatan umat. Aminnnnnnnn

MELESTARIKAN SEJARAH MEMBENAHI BUDAYA

MELESTARIKAN SEJARAH MEMBENAHI BUDAYA

Oleh : Hozaini*

Sejarah sebagai peninggalan yang sangat berharga.dan juga sejarah telah membuka wacana di depan mata kita. Sejarah perkembangan di dunia pemikiraan yang di pelopori bangsa Yunani dan bangsa Romawai telah cukup untuk kita jadikan perbandingan untuk mengambil hikmah ilmum pengetahuan. Kedua bangsa tadi sebagai contoh perkembangan ilmu pengetahuan di perkenalkan dengan cara melalui mengasah pemikiraan.
Suksesnya Yunani dan Romawai daalam memburu liarnya ilmu pengetahuan harus di jadikan pijakan agar kita tidak menutup mata pada kretifnya manusia yang bisa menjadikan nilai peradaban suatu bangsa tinggi dan perkembangan pun dspst di wujudkan untuk menjawab tantangan hidup manusia. Dan pada akhirnya yang ingin di capai oleh perkambangan ilmu pengetahuan adalah kainginan bersama untuk mensejahterakan rakyat, bahwa dengan ilmu pengetahuan dapat memberikan cara hidup yang lebih mudah si bawah kekuasaan ilmu.
Realita yang di lakukan bangsa Romawi dan Yunani hendaknya di ambil hikmah. Dari sejarah yang telah di wariskan mereka hendaknya kita mengkaji terhadap eksistensi ilmu pengetahuan yang telah bisa membuat suatu banngsa jaya peradaban pun semakin tinggi yang mengarah kepada nilai kemanusiaan mensejahterakan kahidupan. Tetapi perlu juga untuk diingat, bahwa dengan ilmu pengetahuan kadang kala bisa menjaaadi racun. Apabila tidak di pergunakan secara wajar. Hal yang demikian dapat diamati dalam realita bangsa yang jaya juga mengalami kehancuran dan keruntuhan, ketika ilmu disalahgunakan. Pemilik ilmu pengetahuan apabila hanya berontasi pada pada kemewahan dan kesenangan yang ahanya ingin memuaskan nafsu semata.
Sebenarnya betapa kita terharu ketika memikirkan cemerlangnya manusia ketika menghasilkan penemuan yang didapat dengan susah payah dan di tekuni tampa menghitung masa. Tetapi sekaraang justru digunakan untuk saling bertikai dan saling memperubutkan kekuasaan. Seandainya pemikir yang telah mewariskan ilmu pengetahuan mengetahui konsekwensinya akan seperti sekarang ini, apa yang diwariskan akan mendatangkan mala petaka, sungguh mereka akan menyesalinya. Karena mereka berusaha mendapatkan pengetahuan guna untuk menjawab gejala kehidupan, semisal penyakit dacari obatnya. Kemiskinan dicarikan solusinya dalam mensejahterakannnya untuk menjawab kemalaratan hidup daalam mengifisein guna menghasilkan yang lebih berarti.
Mengkaji perkembangan ilmu pengetahuan seakan-akan charisma ilmu pengetahuan semakin pudar dan hilang. Kita mungkin telah mengenal zaman Nenek Moyang yang sangat kreatif. Mereka sennua telah mewariskan pemikiran yang sangat kreatif dalam berpikir untuk menjwab kehidupan yang lebih mudah, mereka yang lebih dulu mengasah kerasnya batu sambil bertahan hidup dengan berburu. Dan hatri ini batu-batuan telah menjadi indah dan mahal sebagai perhiasan. Dan mereka yang mempelajari kita bercocok tanam, sehingga hari ini kita bisa menikmati kehidupan tampa harus berburu untuk mencari makan. Ketekunan mereka telah diwariskan untuk kita si negeri ini menjadi bangsa yang subur. Inilah sepintas potret terhadap ketekunan Nenek Moyang yang menemukan cara hidup yang sangat berarti dan diwariskan untuk kita semua, yang dialami mereka menjalani hidup sampai mereka menemukan tempat untuk menetap membangun komunitas kehidupan seprti kita sekarang ini.
Betapa terharunya andai kita berpikir pada ketekunan Nenek Moyang yang telah menjadi kisah dalam mencari dan mempelajari kehidupan. Mereka semua dengan ketekunannya menjalani khasanah ilmu pengetahuan dari sebutir benih ditekuni becocok tanam menghidupkan alam, mereka tampa bertanya-tanya untuk siapa berusaah dengan keras. Dan yang paling membuat kita terharu, betapa keikhlasan mereka tiada bisa digambarkan di zaman sekarang ini. Mereka tak pernah memperhitungkan pamrih untuk siapa dia menekuni pengetahuan.
Tetapi realita semangat dan keseriusan yang dialami Nenek Moyang patut dipertanyakan oleh kita sekarang ini yang tidak kekurangan suatu apapun, tetpi kenapa sendi-sendi yang diwariskan mereka tidaak pernah menjadi peluang dalam hidup kita?. Kreatif seperti mereka yang tak mengenal keadilan dan peradaban. Tetapi mereka punya hati nurani yang tidak dikejar hirarkhi untuk hidup mewah dan ambisi jadi penguasa bumi seperti manusia zaman sekaranng ini.
Kemanakah ketulusan yang diwariskan Nenek Moyang?. Siapakah yang telah merampas sejatinya hati dalam ketulusan ikhlas yang murni. Inilah mungkin jika boleh penulis katakana ketidak seimbangan dalam membina nilai kebersamaan demi mewujudkan kesejahteraan, daan juga ketidaak seimbangan pendidikan antara hati, emosi dan nurani.
Kurangnya pemberdayaan menejemen pendidikan dalam membangun pondasi keimanan telah menjadikan ilmu pengetahuan jadi racun dalam kehidupan dizaman sekarang ini. Pemegang ilmu pengetahuan sekarang ini sama sekali tidak mencerminkan sunber inspirasi rasa tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat dan lingkungan persaudaraan manusia.
Keretakan manusia zaman sekarang ini bukan karena tidak adanya ilmuwan dan orang pintar didalam bangsa ini, tetapi sekali lagi apabila ilmu tidak digunakan secara wajar bukan hanya satu manusia yang jadi korban, penduduk masyarkat bangsa akan merasakan semuanya secara merata. Apabila ilmu tidak dijadikan Ibu dalam membina kehidupan kebersamaan berbangsa dan bernegara.
Gejala yang telah menjadi teradisi di bangsa tercinta kita ini . pada hakikatnya terletak dalam mental pribadi yang tidak konsekoen dalam menjalankan ilmunya. Maka yang menjadi penting untuk saat ini adalah penanaman relefansi keimanan dijadikan pondasi ilmu pengetahuan untuk mengimbangi kebebasan radikalisme manusia yang bersifat individualistik. Jika hal ini sudah bisa diterapkan, kami yakin khazanah ilmu pengetahuan kembali bisa dijadika bendera kemenangan. Pertama sebagai penghargaan terhadap kretifnya manusia yang telah mewariskan kepada kita, sebagiai peninggalan sejarah yang sangat berharga yang takkan pernah bisa dibeli dengan nominal rupiah.
Semoga saja para ilmuwan bisa menyadarinya untuk menjadi pembebas dalam pembaharuan seperti tekad para pahlawan ketika membebaskan bangsa ini. Supaya usia kemerkaan bangsa ini bisa mendewasakan masyarakat bangsa. Dan kami berharap semoga tak ada lagi pertanyaan untuk bertanya kemerdekaan. Seperti pertanyaan anak bangsa yang terus bertaanya?, " lapukkah sudaah tiang bendera bangsa, pahlawan bertaruh raga mengusir penjajah. Tapi kenapa engkau menjadi srigala yang merusak dan menghinakan martabat bangsa. Bosankah kau bernaung dibawah sayap Garuda Pancasila?. Atau agama kau anggap sangkar neraka. Sehingga kehidupan buta menilai fenomena masyarkat bangsa. Kemiskinan terus terlantar dan kekarasan semakin mengakar. Karena engkau pintar hanya berorentasi pada perebutan jabatan kamudian tidak ada keadilan.



Hozaini adalah Mahasiswa UIN Malang Fakultas Tarbiyah
Aktif di berbagai organisasi Kampus, diantaranya:
Jurnalis kampus, sebagai pengelola kolom sastra
Pengelola kajian diskusi forum lingkar study islam kampus Malang
Pendiri Lingkar Seni (UI, Unlimited Imagination) UIN Malang.

REALITA FANTASI SANG PENYAIR


REALITA FANTASI SANG PENYAIR


Oleh : Hozaini*


Retorika bahasa yang keindahannya bersifat eksotis itu lahir dari diskripsi yang tertuai di ujung pena merajut ribuan kata, seiring dengan pengalaman sejati yang telah teraba melalui syaraf jari-jari perasaan, sehingga sastra nilai relevansinya tidak bisa di pandang sistematis susunan katanya atau rasionalis bahasanya, karena syair memang di angkat dari refleksi dunia personifikasi yang menghidupkan bayang-bayang dalam nafas kata-kata, menyusun refleksi rasionalitas atau retorika romantisnya bahasa.
Jiwa seorang pengkelana di ujung tarian pena akan selalu melukis cantiknya dunia dengan bahasanya, dan tintanya adalah yang mengalir dari denyut nadi instingnya. Inipun bisa di capai ketika naluri mampu menghadirkan dari keutuhan yang tidak merubah essensinya, dalam rangka hanya mereboisasi. Seperti penghayal yang mampu melukiskan kaligrafi semenjak utuhnya, semisal pepohonan adakalanya gugurnya dedaunan, keringnya ranting-ranting, patahnya cabang-cabang pepohonan ataupun tubangnya, hal ini harus mampu di hadirkan dalam insting naluri untuk bisa mendiskripsikan indahnya keutuhannya.
Adakalanya dalam fareasi aneka warna, cantik dan indahnya bunga, silogisme pemaknaannya hanya kumbang dan kupu-kupu yang mampu merasakannya, bagitu pula dalam dunia sastra, karena memang pengagum dan penyanjung yang memujanya yang bisa merasakan simpati dan empati yang di lukiskan sang penulis. Maka di sinilah ektase esoteris bermakna, sebenarnya syair tidak terlepas dari unsur pemikiran filosofis yang menjawab sunbangnya pertanyaan melalui perasaan batin, karena kandungan yang menuai dalam bahasa syair yang mengandung ribuan relasi yang mampu merangsang empati, simpati, dan intuisi, sehingga ektase-ektase yang menyifati syair karakternya adalah dunia mistik dalam pembenaran pengetahuan pribadi, maka ketika menjadi milik publik pemaknaanya menjadi bebas dalam penafsiran.
Sehingga wajarlah zaman prasejarah, ketika itu bangsa Arab berlomba-lomba mengasah pemikiran dalam bentuk sastra, dari sinilah hendaknya kita ,mengkaji seiring dengan maraknya peristiwa lahir dan perkembangannya sastra, seketika itu pula al-qur’an diturunkan ke alam dunia dalam literaturnya berbentuk qauliyah, yakni sebagai pembatas keseimbangan relasi manusia sebagai khalifah dimuka bumi lengkap dengan anugerah fitrah, akan tetapi dilegasi fitrah tidak akan bisa membangun keabadian sehingga harus mempunyai literatur dengan hukum-hukum tuhan.
Dalam catatan sejarah tidak ada nama dari kehidupan manusia yang dititipkan kepada dunia, melainkan menanamkan dalam kemampuan sikap arif, sehingga kata-katanya masih mendapat ruang dialam dunia membawa harum namanya, sepanjang dunia ini masih berputar pada rotasinya. Dari prolog ini kami mencoba memaknai seni dari sudut pandang pendidikan jiwa (lemabaga menata hati), seni memang terlahir dari ketekunan kreatifitas, membaca, menulis, merefleksikan gambaran kehidupan yang sempurna. Seorang yang cenderung mengamsumsikan keindahan, maka selalu berusaha memusatkan perhatian untuk mengambil hikmah dari setiap pengalaman.
Oleh karena itu relefansi sastra tidak lahir semata dari ruang hampa, yakni pasti lahir dari esensi pengetahuan, keterampilan dan keinginan yang kuat. Maka seni dalam bentuk sastra berkembang seiring dengan sejarah, sebagai refleksi yang bersifat internal dalam asumsi pribadi individu. Sehingga sastra mengandung makna dalam internal teks itu sendiri, atau teks terhadap konteks ketika sastra terpublikasi menjadi wacana ideology, yang didalamnya terkandung nilai-nilai normatif, baik sebagai refleksi religi, budaya dan perpolitikan yang ada didalam waktu dan situasi seni sastra dalam hidupnya bahasa dilahirkan sebagai penyambung komonikasi.




Hozaini adalah Mahasiswa UIN Malang Fakultas Tarbiyah
Aktif di berbagai organisasi Kampus, diantaranya:
Jurnalis kampus, sebagai pengelola kolom sastra
Pengelola kajian diskusi forum lingkar study islam kampus Malang
Pendiri Lingkar Seni (UI, Unlimited Imagination) UIN Malang.

BIOGRAFI PENULIS

NAMA : Hozaini
TETALA : Sumenep, 17-08-1983
PENDIDIKAN : MI, MTs ,SMA di Sumenep dan sekarang masih kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
ALAMAT : Malang, JL Sunan Ampel No 1
: Rumah .JL.Wisata Lombang Batang-Batang Sumenep Madura, 69473
CONTACT PERSON : 087859362323
E-MAIL : hanzain@plasa.com

Friday, October 17, 2008

SASTRA BUKAN SEKEDAR RETORIKA ESTETIKA

*Oleh: Hozaini
Sesungguhnya dari retorika bahasa berarti sihir. Dan ilmu bisa menimbulkan kebodohan. Dan sesungguhnya dari sebait syair banyak mengandung hikmah. (HR. Abu Daud. Di petik dari buku, Gerak-gerik Allah. Darmanto,1999)
Agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya lebih tinggi di bandingkan puisi.
(Perkataan Mathew Arnold yang di sampaikan kepada Muhammad Iqbal).

Kau ciptakan malam dan aku yang membuat pelita. Kau ciptakan tanah liat dan aku yang membuat piala. Kau ciptakan sahara, gunung-gunung, dan belantara. Aku juga membuat kebun anggur, taman-taman, dan padang tanaman. Akulah yang merubah batu menjadi cermin. Akulah yang telah merubah racun menjadi obat penawar.
(Kata Mutiaranya Muhammad Iqbal)

Kutipan diatas sengaja kami angkat dalam rangka sebagai bahan untuk menjelaskan eksistensi sastra dalam budaya pemikiran dan kehidupan Sastra merupakan hasil pemikiran atau renungan manusia dalam menekuni kreatifitas berpikir dalam memaknai indahnya kehidupan. Dan juga sastra merupakan hasil jawaban terhadap pertanyaan dalam memaknai realita kahidupan dalam bentuk apa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana?. Kemudian rasa eksotis kejiwaan memberikan penilaian bahwa suatu benda mempunyai nilai kebenaran dan kesalahan, keindahan dan kejelekan. Meskipun manusia dalam mengasumsikan yang demikian punya kodrat pembenaran yang relatif tergantung pengalaman dan keilmuan dalam kapasitas berpikir dan ketajaman imajinasi dalam menyempurnakan apa yang dapat di tangkap oleh indra kemudian di filter dalam kebijakan nurani. Sehingga sastra secara gamblang dapat di artiakan sebagai hasil kreasi manusia dalam menekuni kreatifitas dalam menjalani pelik dan sengsaranya indahnya kehidupan.
Sementara estetika yang merupakan pancaran emosi dan pikiran yang mapu mengambarkan relasi dengan keindahan yang tak terikat pada pertimbangan moral, sosial, politik, ekonomi,atau apapun. (baca kompas, 09/12/06).
Wacana diatas mengambarkan bahwa seorang penganut sastra atau estetika punya kecendrungan menhamba pada irodah eksotis pemikirannya. Maka apabila seorang sastrawan hidup dalam komunitas cenderung menjadi ekspansi dalam menilai ralita terhadap fenomena sosial. Dan juga bisa jadi, menjadi komferensi dalam membangkitkan semangat juang melalui retorika resistensi bahasa tulisan terhadap kebijakan yang berpolemik dengan pemerintahan, reliata moral peradaban yang merosot, bahkan pada teologi keyakinan (filasafat).
Realita seperti yang di paparkan diatas tadi bisa diamati dalam fakta. Mungkin kita masih mengenag seorang Siti Jenar dengan konsep teologinya yang mempopulerkan “Manunggaling Kaulo Gusti” . Dan juga dapat diamati dalam ralilta tokoh sufi sperti, Al-Hallaj dan Ahmad ibnu Hambal, sebagai pencetus “ Wahdlatul Wujud”. Mereka adalah manusia yang mampu membina retorika jiwanya dari bentuk yang bersifat duniawi ke dalam filosofis ukhrawi dan sebaliknya.
Pemikiran tadi menunjukkan kreatif filosofis yang mengandung seni dalam memaknai keindahan dengan mengasah emosi dan empati. Dan teranyata jika diamati lebih dalam lagi, ternyata dapat dililihat dalam fakta ketika Nabi Ibrahim dalam pencahariannya untuk menemukan tuhan. Dengan ketabahan Nabi Ibrahim diuji oleh Tuhan untuk memaknai yang bersifat indrawi yang bisa di maknai sebagai keindahan dan keagungan. Sehingga beliau dengan ketabahannya mendapat keistimewaan dari Tuhan dengan gelar “Ulul Azmi”.
Kisah Nabi Ibrahim ini cukup untuk dijadikan hikamah sebagai kacamata dalam menafsirkan sastra yang bukan sekedar retorika estetika. Makanya menjadi penting dalam membangkitkan filosofis sastra yang mengandung retorika estetika untuk mempelajari kreatifnya seorang Nabi Ibrahim tadi. Beliau adalah guru yang pertama mengajari asumsi yang bersifat indrawi kemudian diolah dalam pemikiran emosi. Tetapi beliau tidak mendapatkan kepuasan atau kebenaran sejati dalam hasil pemikirannya. Lalu beliau merenungkan kembali dan kemudian mengambil hikmah dari ilham keputusan nuraninya.
Realita yang dialami oleh Nabi Ibrahim tadi, sesuai dengan pembenaran Nabi Muhammad, seperti dapat dilihat dalam intisari hadistnya barikkut, “Ketika Baik Hati Seseorang, Maka Baiklah Seluruh Perbuatannya”. Hal yang sama juga di sampaikan oleh sang Filusuf besar seperti Al-Ghazali, yang mengungkapkan sebagi berikut “ Kebenaran Hakiki Adalah Hati”.
Prolog di atas kami jadikan sebagai pengantar dalam memaknai karya sastra yang bukan sekedar retorika estetika. Konon sebuah karya tidak lahir dari kehampaan. Tetapi karya sastra menunjukkan bukti kreatifnya berpikir asumtif dengan tingkat kesadaran berpikir tentang kesempurnaan sejati.
Socrates pernah berkata demikian, “ cara terdekat menuju kejayaan adalah berusaha keras untuk menjadi apa yang kau inginkan dan kau pikirkan”. Dan juga Albert Einstin mengungkapkan seperti berikut, “saat aku memeriksa diriku sendiri dan metode berpikirku, aku menyempulkan bahwa bakat berkhayalku lebih berarti bagiku di banding bakatku menyerap pengetahuan positip”.
Jika menelaah aforismenya seorang Fisikawan pemegang Nobel 1921,(Albert Einstin), dan seorang Filusuf seperti Socrates diatas dalam ungkapannya. Kita dapat menarik benang merah melalui pemikiran mereka, mengenai inti pemikiran filsafat yang berpikir radikal, mendetail, dan mendasar menunjukkan kemampuan manusia dalam mengasah logika dengan ukuran rasionalitas. Akan tetapi karya sastra punya relefansi yang sama dari satu sisi dengan apa yang diungkapkan Albert Einstin, bahkan dapat di nisbatkan terhadap pemikirannya ketika Einstin menemukan benda terkecil seperti ION atau ATOM, maka disini dapat di temukan pemikirannya yang mempunyai unsur yang sama dengan retorika untuk memunculkan sebuah karya sastra dari asumtif menjadi utuhnya pelukisan yang sempurna. Sehingga dapat ditafsirkan Albert Einstin ketika mengasumsikan Ion punya kesenyawaan. Dan kenyataan yang di alami seorang kreator ilmuwan masih bisa diwariskan sampai saat ini.
Apa yang di alami oleh Albert Einstin juga punya kesamaan dengan perjalanan manusia yang menekuni karya melalui cipta, rasa dan karsa (budaya) untuk menemukan atau mencipta keilmuan baru. Ini jelas butuh pemikiran yang mendalam dan mendetail sehingga mempu menciptakan keilmuan dari abtraksi pemikiran menjadi wujud yang nyata dan fakta.
Dari paradigma dan metode pemikiran diatas, penting rasanya dijadikan bahan dalam menjabarkan pemaknaan sastra yang bukan sekedar retorika bahasa dan estetika. Sastra yang bukan sekedar retorika bahasa dan estetika pada esensinya melahirkan kesempurnaan dari prasangka yang bersifat batini bahwa estetika itu dapat dirasakan dan di nikmati. Seperti halnya orang yang melakukan ritual dengan penuh rasa khusu’.
Nah ! disini dapat dijelaskan bedanya aliran sastra dengan aliran rasionalitas (ilmiah). Aliran sastra dalam meyakini sesuatu sama seperti dalam meyakini agama. Yakni dalam menganut suatu agama harus yakin terlebih dahulu baru kemudian bisa ragu untuk menguji kebenarannya. Sedangkan aliran rasionalitas (ilmiah) di tuntut untuk ragu dulu sebelum hasil penelitian teruji dan terbukti secara fakta.
* Hozaini adalah Mahasiswa UIN Malang Fakultas Tarbiyah
Aktifis di berbagai organisasi Kampus, diantaranya:
Jurnalis kampus, sebagai pengelola kolom sastra
Pengelola kajian diskusi forum lingkar study islam kampus Malang
Pendiri Lingkar Seni (UI, Unlimited Imagination) UIN Malang.

Followers