Friday, October 17, 2008

SASTRA BUKAN SEKEDAR RETORIKA ESTETIKA

*Oleh: Hozaini
Sesungguhnya dari retorika bahasa berarti sihir. Dan ilmu bisa menimbulkan kebodohan. Dan sesungguhnya dari sebait syair banyak mengandung hikmah. (HR. Abu Daud. Di petik dari buku, Gerak-gerik Allah. Darmanto,1999)
Agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya lebih tinggi di bandingkan puisi.
(Perkataan Mathew Arnold yang di sampaikan kepada Muhammad Iqbal).

Kau ciptakan malam dan aku yang membuat pelita. Kau ciptakan tanah liat dan aku yang membuat piala. Kau ciptakan sahara, gunung-gunung, dan belantara. Aku juga membuat kebun anggur, taman-taman, dan padang tanaman. Akulah yang merubah batu menjadi cermin. Akulah yang telah merubah racun menjadi obat penawar.
(Kata Mutiaranya Muhammad Iqbal)

Kutipan diatas sengaja kami angkat dalam rangka sebagai bahan untuk menjelaskan eksistensi sastra dalam budaya pemikiran dan kehidupan Sastra merupakan hasil pemikiran atau renungan manusia dalam menekuni kreatifitas berpikir dalam memaknai indahnya kehidupan. Dan juga sastra merupakan hasil jawaban terhadap pertanyaan dalam memaknai realita kahidupan dalam bentuk apa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana?. Kemudian rasa eksotis kejiwaan memberikan penilaian bahwa suatu benda mempunyai nilai kebenaran dan kesalahan, keindahan dan kejelekan. Meskipun manusia dalam mengasumsikan yang demikian punya kodrat pembenaran yang relatif tergantung pengalaman dan keilmuan dalam kapasitas berpikir dan ketajaman imajinasi dalam menyempurnakan apa yang dapat di tangkap oleh indra kemudian di filter dalam kebijakan nurani. Sehingga sastra secara gamblang dapat di artiakan sebagai hasil kreasi manusia dalam menekuni kreatifitas dalam menjalani pelik dan sengsaranya indahnya kehidupan.
Sementara estetika yang merupakan pancaran emosi dan pikiran yang mapu mengambarkan relasi dengan keindahan yang tak terikat pada pertimbangan moral, sosial, politik, ekonomi,atau apapun. (baca kompas, 09/12/06).
Wacana diatas mengambarkan bahwa seorang penganut sastra atau estetika punya kecendrungan menhamba pada irodah eksotis pemikirannya. Maka apabila seorang sastrawan hidup dalam komunitas cenderung menjadi ekspansi dalam menilai ralita terhadap fenomena sosial. Dan juga bisa jadi, menjadi komferensi dalam membangkitkan semangat juang melalui retorika resistensi bahasa tulisan terhadap kebijakan yang berpolemik dengan pemerintahan, reliata moral peradaban yang merosot, bahkan pada teologi keyakinan (filasafat).
Realita seperti yang di paparkan diatas tadi bisa diamati dalam fakta. Mungkin kita masih mengenag seorang Siti Jenar dengan konsep teologinya yang mempopulerkan “Manunggaling Kaulo Gusti” . Dan juga dapat diamati dalam ralilta tokoh sufi sperti, Al-Hallaj dan Ahmad ibnu Hambal, sebagai pencetus “ Wahdlatul Wujud”. Mereka adalah manusia yang mampu membina retorika jiwanya dari bentuk yang bersifat duniawi ke dalam filosofis ukhrawi dan sebaliknya.
Pemikiran tadi menunjukkan kreatif filosofis yang mengandung seni dalam memaknai keindahan dengan mengasah emosi dan empati. Dan teranyata jika diamati lebih dalam lagi, ternyata dapat dililihat dalam fakta ketika Nabi Ibrahim dalam pencahariannya untuk menemukan tuhan. Dengan ketabahan Nabi Ibrahim diuji oleh Tuhan untuk memaknai yang bersifat indrawi yang bisa di maknai sebagai keindahan dan keagungan. Sehingga beliau dengan ketabahannya mendapat keistimewaan dari Tuhan dengan gelar “Ulul Azmi”.
Kisah Nabi Ibrahim ini cukup untuk dijadikan hikamah sebagai kacamata dalam menafsirkan sastra yang bukan sekedar retorika estetika. Makanya menjadi penting dalam membangkitkan filosofis sastra yang mengandung retorika estetika untuk mempelajari kreatifnya seorang Nabi Ibrahim tadi. Beliau adalah guru yang pertama mengajari asumsi yang bersifat indrawi kemudian diolah dalam pemikiran emosi. Tetapi beliau tidak mendapatkan kepuasan atau kebenaran sejati dalam hasil pemikirannya. Lalu beliau merenungkan kembali dan kemudian mengambil hikmah dari ilham keputusan nuraninya.
Realita yang dialami oleh Nabi Ibrahim tadi, sesuai dengan pembenaran Nabi Muhammad, seperti dapat dilihat dalam intisari hadistnya barikkut, “Ketika Baik Hati Seseorang, Maka Baiklah Seluruh Perbuatannya”. Hal yang sama juga di sampaikan oleh sang Filusuf besar seperti Al-Ghazali, yang mengungkapkan sebagi berikut “ Kebenaran Hakiki Adalah Hati”.
Prolog di atas kami jadikan sebagai pengantar dalam memaknai karya sastra yang bukan sekedar retorika estetika. Konon sebuah karya tidak lahir dari kehampaan. Tetapi karya sastra menunjukkan bukti kreatifnya berpikir asumtif dengan tingkat kesadaran berpikir tentang kesempurnaan sejati.
Socrates pernah berkata demikian, “ cara terdekat menuju kejayaan adalah berusaha keras untuk menjadi apa yang kau inginkan dan kau pikirkan”. Dan juga Albert Einstin mengungkapkan seperti berikut, “saat aku memeriksa diriku sendiri dan metode berpikirku, aku menyempulkan bahwa bakat berkhayalku lebih berarti bagiku di banding bakatku menyerap pengetahuan positip”.
Jika menelaah aforismenya seorang Fisikawan pemegang Nobel 1921,(Albert Einstin), dan seorang Filusuf seperti Socrates diatas dalam ungkapannya. Kita dapat menarik benang merah melalui pemikiran mereka, mengenai inti pemikiran filsafat yang berpikir radikal, mendetail, dan mendasar menunjukkan kemampuan manusia dalam mengasah logika dengan ukuran rasionalitas. Akan tetapi karya sastra punya relefansi yang sama dari satu sisi dengan apa yang diungkapkan Albert Einstin, bahkan dapat di nisbatkan terhadap pemikirannya ketika Einstin menemukan benda terkecil seperti ION atau ATOM, maka disini dapat di temukan pemikirannya yang mempunyai unsur yang sama dengan retorika untuk memunculkan sebuah karya sastra dari asumtif menjadi utuhnya pelukisan yang sempurna. Sehingga dapat ditafsirkan Albert Einstin ketika mengasumsikan Ion punya kesenyawaan. Dan kenyataan yang di alami seorang kreator ilmuwan masih bisa diwariskan sampai saat ini.
Apa yang di alami oleh Albert Einstin juga punya kesamaan dengan perjalanan manusia yang menekuni karya melalui cipta, rasa dan karsa (budaya) untuk menemukan atau mencipta keilmuan baru. Ini jelas butuh pemikiran yang mendalam dan mendetail sehingga mempu menciptakan keilmuan dari abtraksi pemikiran menjadi wujud yang nyata dan fakta.
Dari paradigma dan metode pemikiran diatas, penting rasanya dijadikan bahan dalam menjabarkan pemaknaan sastra yang bukan sekedar retorika bahasa dan estetika. Sastra yang bukan sekedar retorika bahasa dan estetika pada esensinya melahirkan kesempurnaan dari prasangka yang bersifat batini bahwa estetika itu dapat dirasakan dan di nikmati. Seperti halnya orang yang melakukan ritual dengan penuh rasa khusu’.
Nah ! disini dapat dijelaskan bedanya aliran sastra dengan aliran rasionalitas (ilmiah). Aliran sastra dalam meyakini sesuatu sama seperti dalam meyakini agama. Yakni dalam menganut suatu agama harus yakin terlebih dahulu baru kemudian bisa ragu untuk menguji kebenarannya. Sedangkan aliran rasionalitas (ilmiah) di tuntut untuk ragu dulu sebelum hasil penelitian teruji dan terbukti secara fakta.
* Hozaini adalah Mahasiswa UIN Malang Fakultas Tarbiyah
Aktifis di berbagai organisasi Kampus, diantaranya:
Jurnalis kampus, sebagai pengelola kolom sastra
Pengelola kajian diskusi forum lingkar study islam kampus Malang
Pendiri Lingkar Seni (UI, Unlimited Imagination) UIN Malang.

No comments:

Followers